cari disini

Custom Search

Wednesday, December 22, 2010

Kecurigaan yang Mencederai Kemanusiaan (Korban Merapi)



Korban Merapi
Kecurigaan yang Mencederai Kemanusiaan
Laporan wartawan KOMPAS Eny Prihtiyani
Kamis, 11 November 2010 | 16:19 WIB

KOMPAS.com — Pagi hari kemarin, Mbah Santo (70) terlihat melamun di pengungsian pendapa rumah dinas Bupati Bantul. Rupaya ia masih teringat kejadian Selasa (9/11/2010) malam, saat ia tiba-tiba dipindahkan dari pengungsian di Gereja Ganjuran ke rumah dinas. Ia pun bertanya, apa yang salah dengan kami?
"Saya tidak tahu kok kami dipindahkan lagi, padahal kami sudah capek pindah-pindah terus. Sebelum mengungsi ke Gereja Ganjuran, kami mengungsi di daerah Babadan, Ngemplak, Sleman. Namun, karena merasa tak aman, kami pun meluncur ke Bantul dan ternyata diterima oleh pihak gereja. Bagi kami, Bantul adalah daerah yang cukup aman karena lokasinya jauh dari Merapi," katanya.
Tak hanya Mbah Santo yang merasa heran dengan pemindahan tersebut. Hal serupa juga dirasakan Tukiyo (37), pengungsi lainnya. Ia sempat mendengar kabar dari para pedagang keliling di sekitar gereja tentang serombongan orang yang mendatangi gereja. Mereka menggunakan baju gamis dan bersorban. Mereka meminta pengungsi yang beragama Islam untuk keluar dari gereja karena curiga ada upaya pengaderan.
"Padahal, saya di gereja hanya mengungsi. Tidak ada ajaran apa pun. Saya ini beragama Islam, dan tidak keberatan kalau harus mengungsi di gereja. Yang penting aman. Mengungsi di masjid juga tidak apa-apa, jika ada yang mau menerima kami," paparnya.
Rombongan pengungsi tersebut berjumlah 98 orang. Mereka berasal dari Dusun Besalen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Mereka mengungsi begitu mendengar letusan Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari lalu.
Agus, bagian keamanan Gereja Ganjuran, mengatakan, meski serombongan pasukan bersorban tersebut tidak sampai masuk ke dalam gereja, kedatangan mereka sempat menciptakan kepanikan. "Kami khawatir ada penyerangan atau tindakan lainnya," katanya.
Hindari kecurigaan
Bupati Bantul Sri Surya Widati mengatakan, pemindahan tersebut dilakukan untuk menghindari kecurigaan dari kelompok tertentu. Selain itu, juga memberikan rasa aman bagi pengungsi. Kelompok tersebut mendatangi Gereja Ganjuran pada Senin (8/11/2010).
Untuk menenangkan kelompok tersebut, Sultan Hamengku Buwono X bersama dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas bahkan langsung mendatangi Gereja Ganjuran untuk menjadi mediator antara perwakilan pengungsi dan kelompok yang menaruh kecurigaan. Dalam mediasi tersebut, Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Joas Feriko Panjaitan juga hadir.
Bencana seharusnya menimbulkan kepedulian dan melahirkan rasa kemanusiaan. Tidak lagi melihat korban bencana dari sudut pandang agama, ras, dan golongan. Semuanya harus ditolong tanpa batas-batas apa pun. Tanpa kecurigaan dan tanpa pamrih apa pun.

“Wong-wong jihad kui jane due utek ora yo, wong lagi ngungsi kok kon pindah mergo mung mereka ngungsi neng grejo (orang-orang jihad itu sebenarnya punya otak nggak ya, orang sedang mengungsi kok disuruh pindah hanya karena mereka mengungsi ke gereja),” tulis sms mbak Ani di hpku. Mbak Ani sendiri sudah berhari-hari ikut melayani pengungsi Merapi.

wedhus gembel (foto Koramen H. Sirait)
O, rupanya kabar yang dibaca Didik padaku dan Kak Eni tadi pagi benar adanya. Didik bilang, FPI mengusir pengungsi Merapi yang sedang mengungsi di Gereja. Kuutak-atik situs berita, tak banyak yang memberitakannya.
Menurut mbak Ani saat kutelpon, sekelompok orang yang menyebut dirinya Forum Jihad Indonesia meminta para pengungsi muslim untuk berpindah tempat mengungsi. “Mbuh opo alesane, mungkin wedi pengungsi muslim dadi kristen goro-goro grejo menehi panggonan nggo ngungsi hehehehehe.. Tapi nek menurutku carane rabener,ranalar. Situasi koyo ngene kok mikir koyo ngono (Entah apa alasannya. Mungkin takut pengungsi muslim jadi kristen hanya karena gereja ikut menyediakan tempat mengungsi. Tapi menurutku caranya nggak tepat. Situasi seperti ini kok mikirnya begitu),” ujar mbak Ani.
Teman-temanku yang berada di Yogjakarta juga mengatakan, tidak hanya gedung-gedung umum yang dipergunakan untuk penampungan pengungsi tetapi juga rumah-rumah penduduk. Tentu saja, rumah sebagian temanku juga menjadi tempat pengungsian bagi orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal sebelumnya. Jika gerejapun membuka pintu untuk penginapan sementara bagi pengungsi itupun hal yang wajar.
Lumrah saja jika sejak Merapi meletus dasyat pada Jumat (5/11) waktu lalu, Gereja Ganjuran, Bantul, membukakan pintu bagi puluhan orang dari Cangkringan yang meminta tempat berteduh sementara. Namun, sekelompok orang berbaju terusan panjang dan bersurban malah nggrudukke gereja itu, memaksa pengungsi pindah tempat.
“Sultan nganti teko ngrampungke. Haning ngayelke, mosok pengungsine sing kon ngalah. Mbange ribut karo wong-wong jihad kui jare (Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai datang untuk menyelesaikan –masalah ini. Tapi menjengkelkan, masak pengungsi malah yang diminta mengalah. Daripada ribut dengan orang-orang itu katanya),” tukas mbak Ani.

Kata mbak Ani, Sri Sultan justru meminta kepada pengungsi untuk memahami sensitifnya keadaan tanpa menjelaskan perkara yang jelas. Malam kemarin (9/11) pengungsi sebanyak 98 orang ‘dikalahkan’ oleh keegoisan para pembela Tuhan dan agama. Mereka dipaksa pindah ke Bangsal Rumah Dinas Bupati Bantul yang relatif ‘netral’. Lagi-lagi negara kalah oleh preman!

No comments :

Post a Comment